Amukan Gajah Liar

Oleh: Popi Mutia Novi Pratiwi


GAJAH LIAR MENGAMUK,
EMPAT ANAK Menjadi YATIM-PIATU


Sekitar dua minggu yang lalu, saya membaca di Koran Serambi ada sepasang suami-isteri di Desa Bukit Jaya, Kel.Kuala, Kec.Meureubo, Kab.Aceh Barat, tewas di serang gajah liar yang marah dan mengamuk. Gajah itu mengamuk di empat dusun daerah transmigrasi. Memang penghuni dusun tersebut dulunya para transmigran yang datang dari Jawa.
Menurut informasi dari Koran Serambi tersebut, suami-isteri itu tewas sampai isi perut (ususnya) terburai. Sungguh sangat mengenaskan!..Di Koran itupun diceritakan bahwa mereka meninggalkan 4 orang anak yang masih kecil. Kedua korban dibawa ke Rumah Sakit Cut Nyak Dien, namun sudah tidak bernafas lagi. Karena tertarik dengan berita itu, apalagi saya membaca mereka memiliki 4 orang. 4 orang anak ini menjadi yatim piatu. Mereka pun tidak memiliki sanak-famili atau kerabat. Saya menemui Kabag Sosial (Pemda) Aceh Barat, Pak Sofyan. Karena anak-anak tersebut sudah ditangani oleh Pemda, Pak Sofyan bersedia mengantar kami ke lokasi transmigrasi tersebut pada Hari Senin.
Hari Senin Tanggal 6 Agustus, kami (Mas Banteng, saya, Pak Edi serta Pak Sofyan berangkat ke Desa Bukit Jaya, Kec.Meureubo. Kami juga didampingi oleh Petugas dari BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam), Satlak, dan Palang Merah Aceh Barat. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam dari Meulaboh. Perjalanan yang kami lalui merupakan daerah hutan serta berbukit. Jalan memang sudah cukup baik, tetapi banyak kerikil, karena belum di hotmix. Kanan-kiri jalan adalah hutan yang sebagian ditanami pohon kelapa sawit, pohon coklat, pohon kopi serta tanaman palawija. Selama perjalanan ke daerah transmigrasi itu, saya melihat kotoran-kotoran gajah, saya berfikir mungkin… banyak gajah yang lewat pada malam hari…tapi menurut Pak Sofyan jumlah gajah di hutan Bukit Jaya belum diketahui pasti ada berapa ekor.
Di sekitar hutan ada beberapa rumah papan yang bercat putih. Sebagian dari rumah-rumah itu sudah kosong tidak ada penghuninya. Dan ada rumah-rumah yang telah di bakar waktu zaman konflik. Memang menurut informasi dari masyarakat, di Transmigrasi Meulaboh II adalah daerah konflik.
Daerah Transmigrasi Dusun Bukit Jaya, Kuala, Kec.Meureubo berasal dari Pulau Jawa. Tapi setelah konflik mereka pulang kembali ke Jawa. Sebagian lagi ke daerah Sumatera yang lain.
Wilayah Hutan Meureubo juga didiami banyak Gajah. Rupanya hewan-hewan itu merasa terganggu habitatnya. Sesampai kami di Dusun II Bukit Jaya, kami masuk ke suatu rumah papan bercat putih yang keadaannya sangat sederhana. Setelah mengucapkan salam, keluarlah dua orang ibu, rupanya salah satu ibu itu ialah ibu angkat dari ke-4 orang anak itu. Kami berbincang-bincang dengan mereka yaitu ke-3 anak yang orang tuanya tewas tersebut sekarang menjadi anak-anak yatim-piatu. Tapi kami masih harus menunggu ke-3 anak itu, karena mereka masih sekolah di Dusun IV letaknya naik mendaki lagi ke atas. Rupanya anak ke-3 muncul dan baru pulang dari sekolah, namanya Alim.
Saya perhatikan Alim anak yang cukup berani. Dia kami foto bersama. Keadaan mereka memprihatinkan dengan rumah papan dan tidak di semen, lantainya tanah. Ibu-ibu itu bercerita bahwa mereka sedang kesulitan air, karena kemarau panjang.
Ibu angkat ke-4 anak itu bercerita bahwa anak-anak itu tidak memiliki sanak famili. Orang tua mereka berasal dari Jember (Jawa Timur). Ke-4 anak itu tidak bisa Bahasa Aceh. Mereka sehari-hari menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa.
Ketika kami sedang berbicara anak ke-1 dan ke-2 datang pulang dari sekolah. Sedangkan anak ke-4 yang bungsu berumur 2,5 tahun dibawa tetangga ke Meulaboh. Anak yang ke-1 berumur 14 tahun, bernama Nur’aini, tetapi baru kelas V SD, yang ke-2 berumur 7 tahun namanya Kelik, Kelik mendapat ranking I di sekolahnya, tampaknya anaknya memang pandai. Kakaknya Nur’aini ramah dan sopan. Anak ke-3 Alim seperti masih bingung dan pusing. Dia langsung masuk kamar dan tidur berbaring dengan abang angkatnya. Kami bersama-sama ibu angkat anak-anak itu, tetangga, Pak Sofyan, Mas Banteng, Pak Edy dan saya sendiri foto bersama. Di sana kami bersilahturrahmi sekitar 1 jam.
Penduduk di sana hidup sangat sederhana, mungkin boleh dibilang miskin. Akses transportasi umum tidak ada, walaupun jalan-jalan sudah cukup baik. Menurut Pak Sofyan penduduk di sana berjumlah 43 KK dan terdiri dari 5 dusun, 2 sekolah yang letak cukup jauh, 1 puskesmas. Penduduk di sana mata pencahariannya petani atau berladang. Keadaan di sana sangat sepi, dapat dibayangkan, bila malam hari tiba, mungkin yang terdengar suara-suara gajah, cengkrik, kodok, dll.
Setelah selesai, kami pamit dan singgah di tempat Balai Latihan Gajah, letaknya tidak jauh dari dusun II, tempat anak-anak itu tinggal sekarang. Kami melihat ada 4 ekor gajah. Yang besar adalah gajah liar yang mengamuk, serta menyerang orang tua (penduduk) transmigrasi Dusun 4 Bukit Jaya. Laki-laki tersebut adalah ayah dari ke-4 anak-anak itu yaitu Nur’aini, Kelik, Alim dan adiknya yang berumur 2,5 tahun (perempuan). Sedangkan perempuan yang diinjak gajah adalah ibu dari ke-4 anak tersebut. Sehingga mereka menjadi anak yatim-piatu. Takdir!..memang di tangan Allah..hanya jalannya yang berbeda-beda. Umur, jodoh, dan rezeki adalah Allah yang berikan..manusia hanya berikhtiar.
Ya Allah Yang Maha Pengasih..Maha Penyayang…Maha Kuasa…Saya berpikir dan merenung. Ya Allah..saya bersyukur atas nikmat hidup yang Engkau berikan pada kami untuk selamanya. Jadikan kami orang-orang yang senantiasa bersyukur. Saya harus lebih bersyukur dibandingkan penduduk transmigrasi itu… sangat kekurangan. Tidak terasa.. sambil mengetik komputer ini air mata pun menetes… dan berlinang..begitu banyak orang Indonesia yang mengalami kemiskinan. Duh…GUSTI!...saya sedih, prihatin, nelongso..berikanlah kami kekuatan dan kesabaran untuk dapat mengambil dan mengurus ke-4 anak-anak yatim-piatu.
Ke dua orang tua mereka dimakamkan di pemakaman daerah transmigrasi di Dusun IV Bukit Jaya. Gajah yang ada di tempat Balai Latihan itu ternyata Gajah yang membunuh sepasang suami-isteri itu dan telah ditangkap oleh Pawang Gajah. Kami perhatikan mata Gajah tersebut kelihatan garang dan tidak bersahabat. Kami dilarang mendekati Gajah Tua. Gajah itu beratnya sekitar 4 ton lebih. Di tempat tersebut ada 4 ekor. 3 ekor sudah di latih dan dijinakan, sedangkan Gajah Tua yang telah membunuh, belum berhasil dijinakkan, sebab baru 2 hari ditangkap. Jadi kami melihat dari jarak beberapa meter. Gajah Tua itu kakinya dirantai besi. Setelah selesai dan berbicara dengan Pawang Gajah, kami kembali ke Meulaboh. Di perjalanan Pak Sofyan bercerita bahwa untuk menarik Gajah Tua, diperlukan 2 ekor Gajah lainnya. Pertama Gajah yang satu menarik kaki depan sebelah kanan, sedangkan kaki kiri ditarik Gajah yang satu. Jadi Gajah yang mengamuk ini tidak berkutik sama sekali, sebab ditarik oleh Gajah-Gajah yang lain.
Insya Allah!..kami SOS Meulaboh akan kembali ke lokasi transmigrasi tersebut dalam beberapa minggu ke depan. Untuk survei dan membawa ke-4 anak-anak yatim-piatu terdiri dari Nur’aini, Kelik, Alim dan adiknya. Kami memohon doanya kepada rekan-rekan di SOS. Amin!..Terimakasih kepada Mas Banteng, Kabag Sosial yaitu Pak Sofyan serta Pak Edy yang mengantar saya untuk melakukan survei ke daerah transmigrasi tersebut. Pengalaman survei kali ini bagi saya yang menarik serta mengesankan untuk saat ini. Karena mereka ditinggalkan oleh orang tua baru 3 minggu, masih berduka.
Semoga cerita ini dapat bermanfaat untuk direnungkan sebagai rasa cinta dan peduli terhadap manusia dan lingkungan alam… Allah Sang Pencipta Alam Semesta.



Ditulis oleh:
Popi Mutia Novi Pratiwi

Pembina SOS Desa Taruna Meulaboh

Tidak ada komentar: